Arsip | hanya tulisan RSS for this section

Peter Lynch Playbook

Biografi Peter Lynch adalah investor saham terkenal Amerika Serikat yang berangkat dari seorang analis saham. Ia bekerja untuk perusahaan investasi terkemuka Fidelity Investments, Inc. dan Fidelity Management & Research Company sejak tahun 1969.

Selama mengelola Fidelity Magellan Fund dari tahun 1977 hingga 1990, Lynch berhasil mengembangkan aset senilai USD20 juta menjadi USD14 milyar, termasuk hasil trading indeks S&P 500 dengan rata-rata return 29 persen per tahun. Selain itu, Peter Lynch juga dikenal sebagai penulis buku best seller “One Up On Wall Street” (1989) dan “Beating The Street” (1993) yang dianggap sebagai buku wajib oleh para investor saham. Lebih dari sekedar trader sukses, Jason Zweig dalam bukunya “The Intelligent Investor” (update 2003) mencatat Peter Lynch sebagai investor legendaris.

Peter Lynch lahir di Massachusetts, AS, pada tahun 1944. Setelah memperoleh gelar Master of Business Administration dari Wharton School, University of Pennsylvania pada tahun 1968, Lynch bekerja untuk Fidelity Investments, Inc. sebagai analis investasi. Pada tahun 1974 hingga 1977 ia sempat menjabat sebagai direktur riset pada Fidelity Management & Research Company sebelum dipercaya sebagai fund manager Fidelity Magellan Fund hingga pensiun tahun 1990. Karena reputasi dan prestasinya, pada tahun 2007 Lynch diangkat sebagai vice chairman dari Fidelity’s investment adviser, Fidelity Management & Research Co.

Dalam bukunya “Beating The Street”, Lynch mengungkap rahasia dari portofolio investasi pribadinya. Ia banyak memperoleh keuntungan dari saham-saham seperti Fannie Mae, Ford, Philip Morris, MCI, Volvo, General Electric, General Public Utilities, Student Loan Marketing, Kemper, dan Lowe’s.

Peter Lynch dikenal mempunyai filosofi trading invest in what you know, atau berinvestasilah pada yang Anda pahami. Menurutnya, kebanyakan orang memiliki pengetahuan spesifik pada bidang tertentu, atau memahami dengan baik profesi atau keahliannya. Jika mereka terjun ke pasar saham sebagai investor individu, sebaiknya mereka memilih saham-saham yang berhubungan dengan profesi atau pekerjaannya, sehingga tahu benar saham tersebut sudah terlalu mahal (overvalued) atau masih terlalu murah (undervalued). “Pilih saham-saham undervalued yang bagus. Sediakan waktu untuk survey dan belajar. Jangan asal masuk sebelum Anda paham benar. Invest in what you know,” demikian saran Peter Lynch.

Lynch sendiri tidak ahli dalam banyak bidang, namun ia selalu melakukan survey dan analisa fundamental pada perusahaan yang sahamnya sedang diincar dengan pendekatan bottom-up. “Sebelum masuk, Anda harus bisa menjelaskan dengan logis kenapa Anda memilih saham yang ini, kenapa bukan yang itu. Anda harus bisa menjabarkan dengan detail. Jika ragu, hasil investasi Anda akan meragukan juga,” jelasnya. Sebagai inforrmasi, Peter Lynch selalu menahan saham yang dibelinya untuk jangka menengah atau jangka panjang, ia tidak pernah trading jangka pendek.

Apa nasehatnya bagi investor atau trader pemula? “Di pasar manapun Anda hendak masuk, sebaiknya pahami benar karakteristik instrumen investasi tersebut. Jangan coba menebak-nebak. Jika perlu lakukan riset. “Investasi adalah pekerjaan serius. Jika Anda investor atau trader saham, tiap lembar saham yang anda beli itu bukan kupon lotere, tetapi bagian dari kepemilikan bisnis Anda“, kata Peter Lynch.

Para trader dan investor yang telah sukses dalam karirnya sebagian besar mendedikasikan pengetahuan dan waktunya guna mengembangkan dunia trading dan investasi seperti mendirikan perusahaan investasi, menjadi konsultan, komentator di berbagai media investasi dan bisnis, mengembangkan software trading, menulis buku, dan lain sebagainya. Kita bisa mengambil manfaat positif dari kisah perjalanan karir Peter Lynch tentang perlunya memahami instrumen investasi yang akan Anda geluti.

Rangkuman Buah Ide dari pemikiran Peter Lynch bisa didapatkan dalam Peter Lynch Playbook

Jalan Sunyi Seorang Value Investor

Walaupun di masa kini hampir seluruh transaksi jual beli di bursa saham dilakukan secara online melalui aplikasi yang disediakan oleh pihak sekuritas, suasana ramai tetap terasa di grup-grup sosial media. Setiap harinya selalu ada saja berita dan informasi baru yang dapat menjadi bahan diskusi dan pada akhirnya menggerakkan orang-orang untuk melakukan transaksi. Dari tahun ke tahun nilai transaksi saham di BEI terus meningkat. Tercatat nilai transaksi tahunan BEI naik hampir dua kali lipat dalam satu dasawarsa terakhir, yaitu dari Rp 1.064 triliun pada tahun 2008 menjadi Rp 2.040 triliun pada tahun 2018.

Terlepas dari semua itu, terdapat satu hal yang tidak berubah. Tujuan berinvestasi adalah memperoleh keuntungan. Orang yang membeli saham mengharapkan keuntungan baik dari kenaikan harga saham maupun dividen. Untuk mencapainya, para pelaku pasar menggunakan berbagai macam strategi. Kita mengenal analisis fundamental, analisis teknikal, bandarmologi, astronacci, dsb. Beragamnya metode yang digunakan tak pelak tercermin pada dinamismya fluktuasi di bursa saham. Secara natural, fluktuasi harga saham akan berpotensi menimbulkan greed (keserakahan) dan fear (ketakutan) pada pelaku pasar. Kondisi psikologis ini akan semakin terasa apabila pelaku pasar tersebut adalah pendatang baru yang terlebih jika belum memiliki bekal pengetahuan dan pengalaman yang cukup memadai.

Di balik riuh rendahnya bursa saham, terdapat sejumlah pelaku pasar yang menganut aliran value investing. Sesuai dengan namanya, seorang value investor akan berusaha untuk membeli saham yang harganya lebih murah dibandingkan dengan nilai sebenarnya. Jika sudah cukup familiar dengan prinsip value investing tentu Anda mengenal Ben Graham. Buku karyanya yang fenomenal, Security Analysis yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1934 telah menggugah banyak orang hingga saat ini. Salah satu muridnya yang paling terkenal adalah Warren Buffett yang sangat kepopulerannya bahkan terdengar sampai di luar komunitas pasar modal. Kutipan-kutipan perkataan Buffett yang ikonik acap kali menghiasi artikel dan diskusi tentang bisnis dan bursa saham. Selain Warren Buffett, dunia mulai mengenal murid-murid lain dari Ben Graham melalui artikel yang dituliskan oleh Warren Buffett dengan judul The Superinvestors of Graham and Doddsville. Di antaranya adalah Walter Schloss (almarhum), Bill Ruane, dan Irving Kahn.

Ben Graham mengembangkan metodologi untuk mencari saham-saham yang murah dengan melakukan analisis kuantitatif berdasarkan angka-angka yang terdapat di dalam laporan keuangan. Pada masa itu, apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang baru. Sebagai gambaran, salah satu tokoh terkenal yang satu zaman dengan Ben Graham adalah Jesse Livermore yang terkenal dengan julukan Boy Plunger karena berhasil mendapatkan keuntungan besar dari perdagangan komoditas saat depresi besar melanda Amerika Serikat pada tahun 1929. Buku berjudul Reminiscences of A Stock Operator yang mengisahkan tentang sepak terjang tokoh yang bernama Larry Livingstone di pasar modal. Diduga kuat Larry Livingstone adalah alias dari Jesse Livermore. Sangat berbeda dengan Ben Graham, Jesse Livermore terkenal karena melakukan hasil analisis terhadap pergerakan harga saham untuk melakukan transaksi. Tokoh terkenal lainnya adalah W. D Gann yang menganalisis pergerakan harga saham dengan bantuan ilmu geometri dan matematika kuno. Walaupun masih menjadi perdebatan, ia juga diduga menggunakan ilmu astronomi dan astrologi sebagai panduan. Di tengah-tengah metodologi-metodologi tersebut, apa yang dilakukan oleh Ben Graham adalah sesuatu yang baru. Ia mempercayai bahwa harga saham pada akhirnya akan mengikuti kondisi fundamental bisnisnya.

Pembacaan Kitab “Suara Dari Langit”

Kitab Karangan Dari KH. Agoes Ali Mashuri yang berisikan tentang nasehat-nasehat untuk raga, jiwa dan keimamanan