Arsip | HISTORIOGRAFI & MEtodologi RSS for this section

SEJARAH SOSIAL TIDAK HANYA TENTANG PEMBERONTAKAN

Sejarah sosial pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh Sartono. Sartono melalui tulisan tentang pemberontakan petani di Banten 1888 memberikan pencerahan dalam penulisan sejarah di Indoensia. Sartono telah menulis bagi masyarakat yang tidak memiliki sejarah menjadi masyarakat bersejarah. Sartono ingin mendobrak historiografi kolonial dengan pandangan neerlandocentris, tentu saja memusatkan perhatian kepada peranan pelaku-pelaku Belanda, sehingga pelaku Indoneia yang tampil biasanya hanya raja-raja dan pembesar-pembesar. Historiografi tradisional, seperti babad tanah jawi, yang bersifat raja sentris, tidak dapat diharapkan adanya penampilan peranan rakyat pada umumnya dan peranan petani pada khususnya.[1]

Melalui karangan Sartono memungkinkan pikiran sejarawan ter-frame bahwa sejarah sosial mengenai petani dan pemberontakan. Kemudian, sejarawan berpikir bahwa sejarah sosial adalah sejarah yang mengunakan ilmu-ilmu sosial.[2] Karya-karya sejarah sosial itu sendiri sangat identik dengan sejarah berbagai pergerakan sosial, seperti gerakan petani, gerakan protes, gerakan keagamaan, gerakan kebangsaan dan gerakan aliran ideologi atau politik. Selanjutnya, untuk mengetahui seberapa jauh jalannya suatu gerakan sosial itu, maka perlu diungkapkan kondisi struktur sosial, pranata kepercayaan sebagai dasar gerakan, faktor-faktor pendukung atas pencetus gerakan, mobilisasi pengikutnya, tindakan perlawanan terhadap gerakan sosial itu, dan yang lebih penting lagi adalah segi-segi pertumbuhan dan perekembangan dari segala faktor yang menyertai gerakan tersebut.

Akhirnya menurut Kuntowijoyo frame-frame seperti itu dibongkar dan digantikan, bahwa sejarah sosial bisa mengunakan fakta sosial mengenai tema-tema kemiksinan, perbanditan, kekerasan, kriminalitas dapat menjadi sejarah. Demikian juga sebaliknuya kelimpahan-ruahan, kesalehan, kekesatriaan, pertumbuhan penduduk, migrasi, urbanisasi, dan sebagainya. Kelas-kelas sosial, peristiwa sosial, institusi sosial.

Berdasarkan tema-tema diatas, perhatian sejarawan dapat diarahkan kepada proses strukturisasi hubungan sosial antara komponen secara keseluruhannya mewujudkan sebuah sistem. Untuk itu, dapat pula dipertimbangkan penggunaan pendekatan sistem. Dalam melukiskan sebuah sistem sosial itu dari suatu kurun sejarah, beberapa model dapat dipakai dalam mengorganisasikan dan mensistesis tulisan sejarah. Di sini,  model berfungsi sebagai inspirasi heuristik bagi pencarian dan pengumpulan bahan serta penyususunnya. Secara umum penulisan sejarah sosiologis dapat dibedakan dalam model yang bersifat sinkronis dan diakronis. Menurut Kuntowijoyo, dengan model sinkronis masyarakat digambarkan sebagai sebuah sistem yang terdiri dari struktur dan bagiannya (substruktur), dan peristiwa-peristiwa dilihat dalam keadaan statis. Sedangkan model diakronis lebih mengutamakan pelukisan sosial berdimensi waktu. Pada gilirannya, model diakronis sebagai tujuan utama dari penulsian sejarah itu bukan saja memerhatikan struktur dan fungsinya pada masyarakat, melainkan sebagai suatu gerak dalam waktu dari kejadian-kejadian yang konkret. Dengan demikian, model diakronis dapat bermula dari sebuah situasi secara sinkronis pula, atau melalui situasi antara permulaan menuju ke situasi terakhir.

Selanjutnya Kuntowijoyo memperkenalkan enam model penulisan sejarah berdasarkan pendekatan sosiologis. Keenam model penulisan itu sekaligus berguna untuk meningkatkan ketermpilan sejarawan dalam menentukan strateginya. Yaitu model evolusi, yang melukiskan perkembangan sebuah masyarakat dan permulaan berdiri sampai dengan menjadi masyarakat yang kompleks; model lingkaran netral, yang menjelaskan penulisan sejarah bertolak dari titik peristiwa di tengah-tenah kehidupan masyarakat secara sinkronis, lalu secara diakronis ditunjukkan pertumbuhannya; model interval, yaitu berupa kumpulan lukisan sinkronis yang disusun secara kronologis, tetapi antara satu periode dengan periode lainnya tanpa adanya mata rantai dan tidak selalu menunjukkan hubungan sebab akibat; model tingkat perkembangan, yakni tahap-tahap perkembangan masyarkat dijelaskan dengan memaki model diferensi struktural; model jangka panjang-menengah-pendek, artinya sejarah ditetapkan dalam tiga macam keberlangsungan. Dalam hal ini, sejarah jangka panjang merupakan perulangan yang konstan tetapi perubahanya lamban sehingga perkembangan waktunya tak dapat dilihat; sejarah jangka menengah perkembanganya lamban tetapi ritmenya dapat dirasakan; sedangkan sejarah jangka pendek adalah sejarah dari kejadian-kejadian yang berjalan dengan serba cepat; model sistematis, model terakhir ini biasa dipergunakan untuk menelusuri sejarah masyarakat dalam konteks perubahan sosial. [3]

Daftar Pustaka:

Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan-laporan Tentang Gerakan Protes di Jawa Pada Abad XX, Jakarta: ANRI, 1981

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.

Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia, 1992.

SEJARAH KEBUDAYAAN dan SEJARAH SENI: Sebuah review dan pemahaman singkat

Sejarah Kebudayaan
Manusia disebut sebagai makhluk yang berbudaya karena perilakunya sebagian besar dikendalikan oleh budi atau akalnya. Kata berbudaya berasal dari kata Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari kata budhi yang berarti akal. Dalam bahasa asing lainnya terdapat kata-kata seperti culture (Inggris), cultuur (Belanda) atau Kultur (Jerman). Berasal dari kata Latin coltere yang berarti pemeliharaan, pengolahan, dan penggarapan tanah menjadi tanah pertanian. Dalam arti kiasan kata-kata itu juga diberi arti “pembentukan dan pemurnian”, misalnya pembentukan dan pemurnian jiwa.
Kebudayaan menurut E.B. Taylor, “Kebudayaan adalah kompleks keseluruhan yang mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan, serta kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”. Menurut Koentjaraningrat, ”kebudayaan sebagai keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata kelakuan, yang diperoleh melalui belajar dan tersusun dalam kehidupan masyarakat”.
Sejarah Kebudayaan memang sangat sedikit ditulis oleh seorang sejarwan. Sejarah kebudayaan sebagai bagian dari sudut pandang sejarah dalam melihat suatu peristiwa. Untuk tulisan sejarah budaya dalam kajian antropologi, filsafat dan jurnalisme telah banyak diterbitkan. Namun, kesemuanya merupakan patokan pengmatan kebudayaan pada masa kini atau berupa kajian kontemporer saja, bukan sebagi proses historis.
Namun, kajian sejarh tentang kebudayaan sudah diaktualisasikan berupa karya dari Darsiti Suratman, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939 atau Djoko Soekiman, Kebudayaan Indisch. Kedua buku tersebut merupakan kajian yang mendekati sejarah kebudayaan dalam tema, tetapi masih belum berupa sejarah kebudayaan dalam pendekatan.
Dalam memberikan gambaran Kuntowijoyo tidak memberikan keputusan dalm penulisna sejarah kebudayaan namun ia membrikan rujukan yang bisa dianut oleh sejarawan. Kuntowijoyo mencuplik dari buku milik Karl J. Weintraub, memuat tradisi historiografi kebudayaan dari sejarawan Eropa. Seperti Voltaire dengan ukuran untuk menyebut masyarakat, bangsa, dan rakyat beradab; burckhard, berusha dalam penemuan struktur dan tata dalam sejarah kebudayaan. Menurut Burckhard, kebudayaan ialah kenaytaan campuran sedangkan tugas sejarawan adalah mengkoordinasikan elemen-elemn dalam gambaran umum. Burckhard menggambarkan sejarah kebudayaan sebagai fragmen-fragmen yang disatukan seperti mozaik. Lamprecht, sejarah kebudayaan ialah sejarah sejarah dari seeleben (kolektifitas yang berupa apa saja, di mana ada jiwa zaman, dan di situ ada kebudayaan), kehidupan rohaniah suatu bangsa, melalui jiwa yang terbelenggu atau jiwa yang bebas. Heuizinga kebudayaan sebuah struktur, sebuah bentuk. Sejarah sebagai bentuk kejiwaan dengan apa sebuah kebudayaan menilai masa lampau. Sejarah kebudayaan menurut Heuzinga adalah usaha mencaru ”morfologi budaya”, studi tentang struktur.
Kemudian, pandangan Kuntowijoyolebih ditujukan kepada pandangan Burckhardt dan Huizinga, karena dianggap sebagi penulis klasih sejarah kebudayaan. Burckhardt telah mampu untuk memisahkan antara kajian antropologi dengan kajian sejarah. Perbedaan itu terletak pada pendekatan yang sinkronis, sistematis, tetapi tanpa kesalahan kronologis dalam peyajiannya. Kedua, usahanya memperluas bahan-bahan kajian sejarah kebudayaan dengan memberikan gambaran secara keseluruhan. Huizinga juga menambahkan bahwa pentingnya general thema dalam sejarah kebudayaan dan tugas sejarah kebudayaan adalah mencari pola-pola kehidupan, kesenian, dan pemikiran bersama-sama. Tugas itu adalah pemahaman secara morfologis dan deskriptif adari kebudayaan yang aktual, tidak dalam bentuk abstrak sehingga dalam penjelasan sejarah kebudayaan yang diungkapkan haruslah aktual dan konkret.
Gambaran umum dapat dicapai dengan menemukan central concept sebuah kebudayaan, meskipun ada kalanya sebuah kebudayaan memiliki banyak pusat (plural centre). Kalu orang akan menulis bagian-bagian dari kebudyaan, tanpa mengkaitkan sengn konsep sentral, hasilnya bukanlah sejarah kebudyaan, tetapi sejarah yang tertentu dan khusus. Sejarah kesenian, misalnya, yang ditulis tanpa mengingat tema umum budayanya, adalah sejarah kesenian, bukan sejarah kebudayaan.
Dalam penulisan sejarah kebudayaan perlu diperhatikan tentang kecenderungan penulisan sejarah agar tidak masuk dalam kajian antropologi dan tidak memakai scope yang lebih kecil karena bisa masuk pada bagian dari sejarah kebudyaan. Kajian sejaraj dengan kajian antropologi hampir sama dalam metodologi yang dipergunakan, namun berbeda dalam dalam melakukan kritik sumber. Sejarawan akan melakukan kritik sumber lebih detail daripada kritik yang digunakan oleh antropolog. Namun, sejarawan tidak boleh terjebak dengan tulisan antropologi yang bersifat historis seperti tulisan dari Pujo Semedi, Depletion of The Java Sea’s Fish Stock, 1860’s-1990’s. Tulisan itu seakan-akan menggambarkan kecenderungan bahwa tulisan tersebut masuk dalam ranah sejarah, namun perlu diperhatikan bahwa pengambilan tahun yang sangat panjang menajdi salah satu bentuk yang perlu ditandai.
Masuknya sejarah kebudayaan ke dalam sejarah yang bersifat khusus, seperti sejarah kesenian, atau sejarah yang masih mengandung sifat budaya merupakan turunan dari sejarah kebudayaan itu sendiri.

Sejarah Seni
Kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan yang keberadaannya sangat diperlukan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu kesenian mempunyai bidang-bidang cakupan yang cukup luas dan beragam.
Sementara itu menurut Richard L. Anderson seni mempunyai sifat umum yang dapat dijumpai dimanapun.
Sifat-sifat tersebut adalah:
1. mempunyai arti yang bermakna budaya, seperti menjadi sarana hubungan dengan kekuatan adikodrati, menjadi sarana komunikasi dan pendidikan,
2. memperlihatkan gaya, yaitu gaya yang dipandang sebagai tradisi milik bersama dalam suatu kebudayaan dan sebagai tanda agar seni dapat menyampaikan arti,
3. memerlukan kemahiran khusus untuk menghasilkan suatu karya seni sehingga seseorang seniman dapat dibedakan dari orang dewasa.
Sifat-sifat seperti tersebut kiranya juga dimiliki oleh kesenian yang hidup dan berkembang pada masa Jawa kuno.
Seni Pertunjukan adalah segala ungkapan seni yang substansi dasarnya adalah yang dipergelarkan langsung di hadapan penonton. Seni pertunjukan dapat dipilah menjadi tiga kategori yakni:
1. Musik (vokal, instrumental, gabungan)
2. Tari (representasional dan non-representasional)
3. Teater (dengan orang atau boneka/wayang sebagai dramatis personae).
Jagad seni adalah jagad refleksi kemanusiaan, sebuah dialektika tiada henti yang hanya akan berakhir pada saat sirnanya manusia dari atas bumi.
Tentang mampu tidaknya pengarang menyelesaikan masalah yang hendak dipecahkannya itu, sudah tentu, bukan sesuatu yang ditentukan olehnya. Tetapi hal-ihwal yang menarik perhatiannya itu mempunyai hak sepenuhnya akan perhatian semua siswa mengenai masalah-masalah estetika, artinya, perhatian semua pihak yang menaruh minat pada seni, persajakan dan kesusasteraan. Semua mengakui tingginya arti-penting sejarah seni, terutama sejarah persajakan; karena demikian halnya, maka pertanyaan-pertanyaan: apakah seni itu? apakah persajakan itu? tidak bisa tidak mempunyai arti yang penting sekali.
Agak sulit rasanya untuk membicarakan perkembangan seni pertunjukan di Indonesia secara keseluruhan, sebab masing-masing kategori (musik, tari dan teater) memiliki karakter dan kekhasan tersendiri dan sangat kompleks.
Salah satu bentuk sejarah seni adalah Karya dari Soedarsono dalam Wayang Wong: The State Ritual Dance Dramain the Court of Yogyakarta.

Sejarah Antara Ilmu dan Seni

Tanaya yuka P/13592

Resume Bab 4 Sejarah Sebagai Ilmu dan Seni dalam Pengantar Ilmu Sejarah

Pemahaman akan sejarah menyebabkan terjadainya perspektif yang berbeda-beda. Slah satu perspektif yang mendasar bagi sejarah adalah pandangan antra ilmu dan seni. Perbedaan yang menyolok dan anggapan yang berbeda-beda untuk menrangkan sebuah makna sejarah. Kuntowijoyo telah menerangkan secara ringkas dan jelas pada buku pengantar ilmu sejarah yang diuraikan pada baba empat di buku tersebut.
Sejarah sebagai ilmu dibagai dalam beberapa sub bagian penjelasan. Sub-sub tersebut sebgai berikut.
Sejaraha itu empiris yang berdasarkan pengalaman-pengalaman maunsia. Sering sekali sejaraha dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam. Perbedaan anatar sejarah denan ilmu alam tidak terletak pada cara kerja, namun pada objek penelitiananya. Sejarah meneliti tentang manuysia sedangkan ilmu alam menliti tentang kebndaan. Dapat dimengerti bahwa bahwa ilmu alam akan menghasilkan hukum yang berlaku umum dan pasti sedngakan sejarah menghasilkan hukum tidak sepasti ilmu alam. Sejarah juga memiliki objek yang dikaji karena sering kali sejarah dianggap sebagai ilmu yanag tidak memiliki objek yamng jelas. Sejarah memiliki objek berupa manusia dalam waktu. Waktu dalam pandangan sejarah tak lepas dari manusia. Kemudian, sejarah mampu untuk mengeluarkan teori-teori sendiri yang didasarkan pada objek yang berbeda dengan ilmu-ilmu sosial. Objek penelitian yang berbeda dalah ilmu-ilmu sosial meneliti tentang manusia sedankan sejarah meneliti manusia dalam waktu. Dengan danya kemampuan untuk mengeluarkan teori-teori sejarah juga mempunyai generlisasi. Namun, generalisasi sejarah bersifat idiografis, yang sangat tergantung pada tempat dan waktu teori tersebut bisa dipakai. Dalam penelitian studi sejarah, makas ejarah memerlukan metode dalam melaksanakan kegiatan penelitian. Metode digunakan sebagai dasar menarik kesimpulan secra hati-hati.
Setelah diyakinai bahwa sejarah adalah sebagai ilmu. Kemudian apa yang bisa diberikan ilmu sejarah? Sejarah mempu membrikan konsep yang berbeda pada setiap pemaknaan kata. Pemaknaan kata yang berbeda diakibatkan terikatnya “kata” tersebut dalam ruang dan waktu. Sejarah pada dasarnya adalah ilmu diakronis, yang memanjang dalam waktu tetapi dalam ruanga yang sempit. Ketika sejarah bersentuhan dengan ilmu soisal maka sejarah memiliki sifat sebagai ilmu sinkronis. Artinya, selain memanjang dalam waktu. Sejarah juga melebar dalam ruang. Jadi lengakplah sudah, sejarah sebagai ilmu diakronis dan sinkronis.
Selain sebagai ilmu, sejarah bisa dikatakan sebagai seni. Seni yang digunakan dalam sejarah selalu harus taat azas metode dan metodologi sejarahnya. Penulisan sejarah memerlukan intuisi atau ilham, pemahaman langsung dan insting selama masa penelitian berlangsung. Sering terjadi bahwa ketika memilih suatu penjelassan, bukan peralatan ilmu yang berjalan tetapi instuisi. Dalam hal ini kerja sejarawan sama halanya dengan sniman yang bekerja dan ingat sellau akan data-data ang dimilikinya. Intusisi ynag memebawa sejarah memerlukan imajinasi dalam penulisan. Imajinasi dalam sejarah merupakan kemmapuan sejarawan untuk membayangkan suatu peristiwa yang sedang terjadi, dan apa yang terjadi sesudah itu. Penulisan sejarah dengan emosi juga dibenarkan namun harus tetap setia kepada fakta, karena sangat penting untuk, mewarisi nilai. Serta, dalam penulisan sejarah sejarawan memerlukan gaya bahasa. Gaya bahsa yang diapkai bukanlah gaya bahasa yang berbunga-bunga namun gaya bahasa yang lugasa, menaruik dan sisitematis.
Sejarah ang dianggap sebagi seni kan memberikan sumbangan kepada seni iru sendiri. Sejarha akan memberikan karakteristik pada biografi. Karakterististik seseorang akan nampak pada penulisan biografi, baik biografi individual maupun biografi bersifat kolektif. Melalui seni sejarah kan bercerita dalam plot atau alur. Plot yang dipkai sering kali sama seprti plot yang dipakai novel adalah pengenalan, krisis dan solusi.
Sejarah merupakan gabungan antar ilmu dan seni. Sejarah mengajarkan penulisan ilmiah yang bisa ditangkap oleh setiap pembaca sejarah dengan enak dan indah. Sudah lengkaplah ilmu sejarah untuk dikatakan sebagai ilmu dan seni. Namun, ilmu dan senai memiliki perbedaan dan persamaan. Penulisan sejarah perlu memhami metode dan metodologi secara mendalam agar tulisan sejarah tidak jatuh dalam tulisan seni atau tulisan yang dianggap sebagai mitos. Dalam tulisan ibni, kuntowijoyo belum menerangkan secara jelas perbedaan natar seni dan ilmu. Kuntowijoyo juga belum memberikan batasan-batasan secara jelas. Perlu adanya pembacaan lebih jauh lagi, terutama artikel-artikel yang pernah dibuat kuntowijoyo dan membaca penjelasan sejarah.